Strong girl, you know you were born to fly. Tears you’ve cried, all of the pain you’ve felt... It’s to prepare you for the day you’ll fly even higher.

Friday, April 28, 2017

The Difference Between Needing, Wanting And Loving Somebody (Perbedaan antara Membutuhkan, Menginginkan dan Mencintai Seseorang)









The Difference Between Needing, Wanting And Loving Somebody
(Perbedaan Antara Membutuhkan, Menginginkan dan Mencintai Seseorang)











Recently a close friend called to tell me that she’s breaking up with her fiancé, who she has been with for 6 years.
(Baru-baru ini seorang teman dekat menelepon untuk memberitahuku kalau dia putus dengan tunangannya, yang telah bersamanya selama enam tahun.)

They got engaged just last year and were even planning to buy a new house together.
(Mereka bertunangan tahun lalu dan bahkan berencana untuk membeli sebuah rumah baru bersama-sama.)

Of course, it came as a huge shock, as I had always thought everything was running so perfectly for her (or, at least, that’s how it seemed on her social media).
(Tentu saja, itu seperti sebuah kejutan besar, karena aku selalu berpikir bahwa semuanya berjalan begitu sempurna untuknya -- atau, setidaknya, itulah yang terlihat di media sosialnya).








I remember she met her now ex boyfriend/fiancé during freshmen year of college. He was her “first love,” as she had never had a boyfriend before him. All her friends, including myself, were really happy for her.
(Aku ingat, dia bertemu dengan mantan pacar / tunangannya saat awal tahun perkuliahan. Dia adalah dia "cinta pertama," mantannya, karena dia tidak pernah punya pacar sebelumnya. Semua teman - temannya, termasuk aku sendiri, benar-benar bahagia untuknya.)

The two of them stuck together for the whole four years of college, and even went on a graduation trip to Europe together afterward.
(Mereka berdua bersama-sama selama 4 tahun kuliah, dan bahkan pergi melakukan perjalanan ke Eropa bersama-sama sesudahnya.)










Then, she moved to another state for work and they began a long-distance relationship. That arrangement lasted for just over one year before they got back to living in the same city again. And before long, he proposed, she said yes and they got engaged.
(Kemudian, dia berpindah ke negara bagian lain untuk bekerja dan mereka mulai berhubungan jarak jauh. Kondisi itu berlangsung selama lebih dari satu tahun, sebelum mereka kembali dan tinggal di kota yang sama lagi. Dan tak lama sesudahnya, ia melamar, gadis itu mengatakan ya dan mereka bertunangan.)

Everything was “going according to plan,” like most fairytales we know that center around the idea of first loves and happily ever afters.
(Semuanya "berjalan sesuai rencana," seperti kebanyakan dongeng, kita tahu bahwa dongeng mengisahkan tentang konsep dan gagasan cinta pertama dan hidup bahagia selamanya.)








But then, like a cruel twist of fate, things began to change. My friend suddenly fell out of love with the person she would marry.
(Tapi kemudian, seperti putaran nasib yang kejam, segalanya mulai berubah. Temanku tiba-tiba merasa tak lagi mencintai orang yang akan dia nikahi.)

“How do you know if you are still in love with someone, or if you’re staying because of the familiarity?” she asked me over the phone.
("Bagaimana kamu tahu jika kamu masih mencintai seseorang, atau kamu hanya tinggal karena telah merasa sangat akrab?" Dia bertanya padaku melalui telepon.)

At the time, I was pretty taken aback by her frankness. “Give me a moment to think about it. I want to give a clear answer to you,” I replied. And, after a minute or two of awkward silence on the phone, this is how I broke it down for her:
(Pada saat itu, saya cukup terkejut dengan keterusterangannya. "Beri aku waktu sebentar untuk berpikir tentang hal itu. Aku ingin memberikan jawaban yang tepat untukmu," jawabku. Dan, setelah satu atau dua menit keheningan yang canggung di telepon, ini adalah pemecahanku untuknya:)

There’s a difference between wanting somebody/something and needing something/someone.
(Ada perbedaan antara menginginkan seseorang / sesuatu dan membutuhkan sesuatu / seseorang.)










Here’s an analogy: You want a Prada bag, but you don’t exactly need one. Of course, your desire for that particular thing you want can be weak or strong, depending on several things.
(Berikut adalah analoginya: Kamu ingin tas Prada, tetapi kamu tidak benar-benar memerlukannya. Tentu saja, keinginanmu untuk hal - hal tertentu bisa saja lemah atau kuat, tergantung pada beberapa hal.)

You may want something really badly, with every ounce of strength that you possess, or you may only want it half-heartedly. On the other hand, you need oxygen; there is no real desire for it, but you have to have it, nonetheless, for survival.
(Kamu mungkin menginginkan sesuatu - sangat amat menginginkannya, dengan setiap kekuatan yang kamu miliki, atau kamu mungkin hanya setengah hati. Di sisi lain, kamu membutuhkan oksigen; tidak ada keinginan nyata untuk itu, tetapi kamu harus memilikinya, namun, hanya untuk bertahan hidup.)










Of course, there are circumstances in which a need may become a want. For instance, when you’re drowning, the need for oxygen gets so strong that the need becomes want.
(Tentu saja, ada keadaan dimana suatu kebutuhan dapat menjadi sebuah keinginan. Misalnya, ketika kamu tenggelam, kebutuhan oksigen mendapat begitu kuat sehingga kebutuhan menjadi keinginan.)

In those few seconds, you want oxygen like you want your life — literally. Often, we only truly appreciate the value and necessity of some things only when we lose them, don’t we?
(Dalam beberapa detik, kamu menginginkan oksigen seperti kamu menginginkan hidupmu - secara harafiah. Seringkali, kita hanya benar-benar menghargai nilai dan kebutuhan dari beberapa hal hanya ketika kita kehilangan mereka, bukan?)










Want and need can be really different, but at times, pretty similar. So, what is love? Here’s the answer to the million-dollar question: Love is when you want what you need and need what you want. 
(Ingin dan butuh bisa berarti benar - benar berbeda, tetapi pada waktu, sangat mirip. Jadi, apa itu cinta? Inilah jawaban untuk pertanyaan sejuta dolar: Cinta adalah saat kamu menginginkan apa yang kamu butuhkan dan membutuhkan apa yang kamu inginkan.)

Now, let me spell it out for you further. I believe most love relationships start out with a state of wanting. When you fall in love, you want the other person very, very much.
(Sekarang, biarkan aku menjelaskannya untukmu lebih lanjut. Aku percaya bahwa sebagian besar hubungan cinta dimulai dengan suatu keinginan. Ketika kamu jatuh cinta, kamu sangat amat menginginkan orang lain.)









And then slowly, over time, as you love, you also become more and more accustomed to that person, so much so that you might even feel as though you can’t live without him or her. This is when want becomes need. When you want and need something simultaneously, you can call it love.
(Dan kemudian, perlahan-lahan, dari waktu ke waktu, seperti yang kamu cintai, kamu juga menjadi lebih dan lebih terbiasa dengan orang itu, begitu banyak sehingga kamu mungkin merasa seolah-olah kamu tidak bisa hidup tanpa dia. Ini adalah saat dimana keinginan berubah menjadi kebutuhan. Bila kamu ingin dan membutuhkan sesuatu secara bersamaan, kamu dapat menyebutnya cinta.)

When you truly love someone, you know that you want him or her. You can feel that craving in the depth of your soul and in every nerve and every fiber of your physical being. It may feel almost like an addiction or an unyielding obsession.
(Ketika kamu benar-benar mencintai seseorang, kamu tahu bahwa kamu menginginkan dia. Kamu dapat merasakan keinginan itu di kedalaman jiwamu dan di setiap saraf dan setiap serat pada keberadaan fisikmu. Rasanya mirip seperti seperti kecanduan, atau obsesi tanpa pantang menyerah.)









You know that there is lust, but there is also something more. It’s something that truly satisfies, yet leaves you wanting more. Indeed, love can leave you in a vulnerable state. Perhaps this is where “want” transcends into “need.”
(Kamu tahu bahwa ada nafsu, tetapi ada juga sesuatu yang lain. Ini adalah sesuatu yang benar-benar terpenuhi, namun membuatmu menginginkan lebih. Memang, cinta dapat meninggalkan kita dalam keadaan yang rentan. Mungkin ini adalah di mana "keinginan" melampaui batas menjadi suatu "kebutuhan.")

It’s when you have become so dependent on the other person for your emotional and physical demands that you can’t live properly if he or she disappeared from your life completely.
(Suatu keadaan saat kamu telah menjadi begitu tergantung pada orang lain untuk kebutuhan emosional dan fisikmu bahwa kamu tidak dapat hidup dengan baik jika ia menghilang dari kehidupanmu sepenuhnya.)











With this person, you can feel a sense of familiarity and assurance that comes with his or her acceptance of you. You feel safe with him or her.
(Dengan orang ini, kamu bisa merasakan satu perasaan yang akrab dan keyakinan yang muncul dengan penerimaannya tentang dirimu. Kamu merasa aman bersamanya.)

In a way, love can become a comfort zone, a refuge you can run to. Though, in another way, it can also be a dangerous place where you might get yourself or the other party really hurt.
(Di satu sisi, cinta bisa menjadi zona kenyamanan, perlindungan dimana kamu bisa lari kedalamnya. Padahal, dengan cara lain, itu juga bisa menjadi tempat yang berbahaya di mana kamu mungkin saja mendapatkan dirimu atau pihak lain benar-benar terluka.)









After a breakup, it’s unavoidable that you will feel slightly needy because now that you’re out of your comfort zone, you just want to feel safe again.
(Setelah putus, tidak dapat dihindari bahwa kamu akan merasa sedikit membutuhkannya karena sekarang bahwa kamu keluar dari zona nyamanmu, kamu hanya ingin merasa aman lagi.)

My friend did admit to me that in her head, she didn’t want her ex as a boyfriend or lover anymore, yet in her heart, she still had feelings for him, and thus she felt deeply perplexed.
(Temanku mengaku padaku, bahwa di dalam kepalanya, dia tidak menginginkan mantannya sebagai pacar atau kekasih lagi, namun di dalam hatinya, dia masih memiliki perasaan untuknya, sehingga ia merasa sangat bingung.)









“This is not love that you’re feeling,” I tried to explain, “It’s nostalgia. Even if you were to get back together after he comes begging at your feet, you might be satisfied for a while, but you won’t stay satisfied for long.
("Yang kamu rasakan ini bukanlah cinta," aku mencoba menjelaskan, "Ini nostalgia. Bahkan jika ia datang mengemis di kakimu dan memintamu untuk kembali bersama, kamu mungkin akan merasa puas untuk sementara waktu, tetapi itu tidak akan berlangsung lama.")

Because, in the end, he is still not what you want. He was, but that’s the past. You loved him, but now, you don’t. Now you feel like you need him only because he’s part of what that feels familiar.
(Karena, pada akhirnya, dia tetap bukanlah apa yang kamu inginkan. Dia pernah menjadi apa yang kamu inginkan, tapi itu masa lalu. Kamu pernah mencintainya, tapi sekarang, tidak. Sekarang kamu merasa seperti kamu memerlukan dia hanya karena dia bagian dari sesuatu yang terasa akrab.) 














Undeniably, he’s the safer choice, compared to being single again after such a long time. But, I can assure you that if you settle for this half-assed love, you are risking nothing but your future happiness.”
(Tak dapat diragukan, dia adalah pilihan yang lebih aman, dibandingkan dengan menjadi sendiri lagi setelah sekian lama. Tapi, aku dapat meyakinkanmu bahwa jika kamu puas dengan cinta setengah-hati ini, kamu tidak mempertaruhkan apa-apa selain kebahagiaan masa depanmu. ")

My friend knew that I was right, and I knew I was right, too. Yet, I was also fully aware that it might be slightly hypocritical of me to set such high bars for her. At the end of the day, it’s not me who will suffer the consequences of my advice — she will.
(Temanku tahu bahwa aku benar, dan aku tahu aku benar juga. Namun, aku juga menyadari sepenuhnya bahwa aku mungkin merasa sedikit munafik kalau mengatur bar tinggi untuknya. Pada akhirnya, bukan hanya aku yang akan merasakan konsekuensi dari saranku sendiri- dia juga akan merasakannya.)










Still, I wouldn’t have given her advice that I would not personally follow. No one said going through breakups is easy, let alone leaving the person you thought you would marry. Yet, it’s definitely better than running away on the wedding day, right?
(Namun, aku tidak akan memberikan saran yang tidak akan kulakukan. Tidak ada yang mengatakan bahwa melewati masa - masa setelah putus, apalagi meninggalkan orang yang kamu pikir akan menikah dengannya. Namun, itu jelas lebih baik daripada melarikan diri pada hari pernikahan, bukan?)









The truth is, love is never completely black and white. In fact, I think 80% of it is grey matter. Love can fade just as quickly as it can surge and fill your entire being with its magical feelings of happiness and bliss.
(Kenyataannya adalah, cinta tidak pernah benar-benar hitam dan putih. Bahkan, kupikir 80% itu adalah sesuatu yang berwarna abu-abu. Cinta bisa memudar dengan cepat karena cinta bisa bergelora dan mengisi keseluruhan dirimu dengan suatu perasaan ajaib yang berkaitan dengan kebahagiaan.)

Lust is part of love, but love cannot be defined solely by the feeling of wanting someone. Desires can be ephemeral, just like feelings are mercurial.
(Nafsu adalah bagian dari cinta, tapi cinta tidak bisa didefinisikan semata-mata oleh perasaan menginginkan seseorang. Hasrat bisa saja singkat, seperti perasaan yang penuh gairah.)











And, when you need someone but do not have that insatiable want for him or her, it could be nostalgia or just lazy dependency.
(Dan, ketika kamu membutuhkan seseorang, tetapi tidak memiliki keinginan yang tak terpuaskan untuk dia, bisa jadi itu adalah nostalgia atau hanya sekedar ketergantungan.)









Don’t settle for less. Don’t be afraid to leave your comfort zone in search of a person who could be better for you either. Like they say, you accept the love you think you deserve.
(Jangan pernah merasa puas. Jangan kuatir untuk meninggalkan zona kenyamananmu dalam pencarian seseorang yang mungkin saja lebih baik untukmu. Seperti yang mereka katakan, kamu pantas menerima cinta yang menurutmu pantas untukmu.)










Take some time and think about it. Some things are better late than never, and love is certainly one of them.
(Luangkan waktu dan berpikirlah tentang hal itu. Beberapa hal yang lebih baik terlambat daripada tidak pernah sama sekali, dan cinta tentunya merupakan salah satu bagian dari hal itu.)


by Keay Nigel
Translate + editing: Shervigne

No comments:

Post a Comment